Senin, 25 April 2011

Tafakur = Bercermin


Kubaca di slide tafakuran hari ini... Tafakur: membaca dengan akal dan kalbu, bukan dengan mata.
Tafakur seperti cermin, sama halnya seperti  aku (ragaku) bercermin setiap hari dan menemukan ada yang salah atau ada yang perlu diperbaiki di sana. Yang berbeda adalah yang bercermin adalah kalbu (jiwa)ku dan cermin yang kugunakan adalah fata/fenomena/kejadian yang kualami sehari-hari. Kesalahan yang kutemukan adalah persepsi/keyakinan yang tidak Qurani atau tidak menimbulkan ketaatan. Walaupun kejadian/fakta/fenomena itu berasal dari orang lain, namun seperti halnya aku bercermin di depan kaca, hal yang aku perbaiki tentu ada pada diriku sendiri. Jika aku melihat di cermin rambutku berantakan, tidak mungkin aku berusaha menyisir/merapikan rambut orang lain.

Subhanallah...itulah kedahsyatan tafakur. Kubaca fakta/fenomena/kejadian dengan akal dan kalbuku, sehingga bisa kulihat pelajaran dalam kejadian itu. Pelajaran  sehingga bisa kugunakan untuk memperbaiki diriku.

Ada satu kejadian hari ini yang membuatku terus berpikir...agar tidak tenggelam dalam penyesalan. Agar kutemukan kunci kebahagiaan. Naznin punya ayunan di teras belakang. Dia sedang bermain ayunan seperti biasa dengan kecepatan tinggi. Aku sedang menjaga si one year old baby Anezka di ruang tengah. Entah apa, lupa persisnya aku harus meninggalkan dia sebentar ke dalam kamar untuk mengambil sesuatu. Ternyata dalam hitungan beberapa detik...Nezka sedang berjalan ke depan kakaknya yang sedang berayun. ”Bundaa...ini adik ke sinii!”, teriak Naznin panik. Dan aku pun ikut panik berlari keluar, sambil berseru,”berhenti ayunannya Naznin!!”

Terjadilah, adik ketendang kaki kakak yang sedang berayun... dia jatuh ke belakang. Ga sampai satu detik...aku memandang ke arah Naznin dengan sangat marah, sambil menggendong adiknya. Ya Allah...semoga kau ampuni kezalimanku pada putriku hari ini.

Terasa kebenarannya,” isi neraka adalah manusia yang tidak berpikir”. Seandainya aku mau berhenti sejenak sebelum bersikap... tentu tidak akan berani aku mengumbar kemarahan. Bukankah Allah melarang hamba-Nya marah? Jika aku mau merasakan... Betapa kejamnya aku menuduh kakak sengaja mencelakai adiknya? Tidak mungkin jiwa sehanif itu punya niat buruk. Astaghfirullah...

Apa? Apa sebenarnya yang membuatku begitu marah? Ya, aku tidak menerima ketetapan Allah. Aku tidak terima kehendak Allah hari ini, adik terjatuh. Padahal, segala sesuatu yang Allah tetapkan...pastilah baik bagiku. Ada kesadaran yang ingin Ia berikan pada detik itu. Hidup memang untuk diuji, itulah kenapa aku diciptakan, untuk suatu pengabdian. Seorang pengabdi akan menerima apapun yang ditetapkan majikannya.

Allah ingin aku menjalankan ajaran-Nya untuk bersabar. Allah lapangkan jalanku ke surga-Nya. Allah ingin aku bebas dari prasangka buruk pada-Nya. Allah ingin aku berserah diri pada ketentuan-Nya. Allah ingin aku menyadari kasih-sayang-Nya.
Sesungguhnya Allah beserta orang yang sabar. Kebahagiaan apalagi yang aku harapkan selain itu???

Ya Allah... terimakasih, segala puji syukur bagi-Mu. Jika kebahagiaanku terampas, tentu bukan kesalahan siapapun kecuali diriku sendiri. Kupakai sudut pandang yang keliru menghadapi ketetapan-Mu. Ya Rabb, teguhkanlah aku dalam perjalanan meraih kebenaran hakiki ini. Tidak mungkin dari Zat Yang Maha Suci...akan keluar sesuatu yang buruk. Subhanallah...Alhamdulillah.

Sabtu, 16 April 2011

Bagaimana Berdamai dengan Diri Sendiri?

Seperti halnya Sunatullah yang lain, tak ada yg gratis, tidak ada cara instan, tidak ada kenikmatan tak berbayar. Atau seperti ungkapan ini,”there’s no such thing as free lunch”. Begitu pula dengan hikmah, pemahaman yang mendalam akan ayat-ayat (petunjuk) Allah. Aku buat catatan ini, sebagai ikhtiar menjemput hikmah, merenda serpihan pemikiran, mengurai fakta yang bertumpuk-tumpuk dalam benakku.

Minggu lalu…Allah sampaikan aku di sebuah forum. Judulnya Muslim Parenting Class (MPC). Saat itu, kondisi kalbu terus terang sedang tidak ibadah L, ruwet dan terasa terombang-ambing. Tapi aku tau, aku ga boleh menyerah dengan perasaan ini.

Saat ini fakta yang kuhadapi adalah Naznin, amanah Allah pada kami yg saat ini berusia 4,5 tahun. Sudah hampir setahun ini dia mulai sekolah di playgroup. Kira-kira 2 bulan lg Naznin akan naik kelas ;) jadi anak TK. Wahh, baru kusadari udah lama ya, dia menjalani kehidupan playgroup-nya. Klo ga dapet hikmahnya juga, parahhh nih. Allah ulang terus berkali2 ketetapan-Nya selama hampir setahun ini. Baiklah, berarti ini laboratorium iqra’ yang bagus buatku.

Di sekolah, password-nya sebelum masuk kelas adalah,”Bunda jangan kemana-mana ya!”. Jadi, menunggulah aku di sana sampai sekolahnya selesai, setiap senin-rabu-jumat,jam 8.00-11.00. Yang lain-lainnya ga perlu diceritakan kali ya..., intinya selama ini (sampai sekarang) bisa dibilang Naznin is my shadow hehehe.

Nah di kelas MPC kemarin, informasi yg kudapat, ternyata anak-anak ga diperkenankan ikut. Paham banget maksudnya apa. Tentunya supaya acara berjalan dengan lancar, setiap peserta (termasuk aku) bisa mengikuti semua materi dengan baik, dan anak ga tersiksa nunggu. Ikhtiar dong, sejak sehari sebelumnya mengkondisikan Naznin kalau besok, acaranya bukan Tafakuran (biasanya dia selalu ikut ke tafakuran). Bunda pergi hanya sebentar, Naznin main sama adik di rumah, ada Bika (pengasuh/pekerja di rmh) etc, etc.. Daaan sesaat sebelum aku buka pintu pagar dan mau menyalakan mobil. Datanglah dia,...”Bunda aku mau ikut aja, ga mau di rumah”. Saat itu, terganggu banget, ga rela, kesal, apalah itu namanya... Rasanya sangat sedih, aku lagi-lagi dikendalikan ”sesuatu” di luar diriku. Akhirnya, berangkatlah kami ke MPC bersama-sama... Dengan terus aku bermohon kepada Allah...utk terus menjagaku, menjaga kalbuku lurus...utk melakukan semuanya hanya karena Dia, Tuhanku.

Sesampainya di sana, Subhanallah, Alhamdulillah. Kutemukan jawaban atas keruwetan kalbuku selama beberapa hari ini. Sebenarnya aku sudah mengetahuinya. Tapi ya seperti itulah bedanya antara mengetahui dan meyakini. Hanya ”tahu” tidak berguna bagiku. Baru bisa membuat perubahan dengan ”yakin”. Berdamai dengan diri sendiri, tema MPC saat itu. Damai, tidak stress, bahagia, tenteram... Bisa kucapai jika ada kesesuaian antara harapan dan kenyataan. Dengan kata lain, damai bisa kurasakan jika harapan/keinginan/tujuanku terpenuhi. Ternyata ada tiga syarat yang memungkinkan suatu tujuan tercapai:
  1. Sesuai dengan kemampuanku, atau berada di dalam kendaliku
  2. Nyata. Bisa diartikan sesuatu yang jelas (tidak abstrak), bisa dievaluasi/dirasakan.
  3. Ada cara/akses untuk mencapainya.

Ketika aku bertafakur atas apa yang terjadi selama ini. Pantas saja aku tidak jauh dari rasa kesal, sedih, stress!! Oh..ternyata penyebabnya aku sendiri. Akulah yang memasang harapan itu, tujuan yang ingin kudapat setiap saat, anak yang baik dan penurut. Kuuji berkali-kali harapanku dengan 3 syarat di atas...sambil kuingat kejadian demi kejadian yang Allah rangkaikan buatku.

1. Aku sama sekali tidak punya kemampuan untuk membuat seorang anak menjadi baik. Jelas semua karya Allah...
2.Target anak baik tidak nyata. Aku berlari dari satu target ke target lain. Apakah dia harus selalu menurut, apakah harus selalu makan/mandi tepat waktu, apakah dia harus rajin mengaji dan rukun dengan adiknya???
3. Jika sudah jelas kurasakan...anak adalah sesuatu yang berada di luar kendaliku. Adakah cara/akses menuju ke sana? Jelas tidak.

Allah bantu perenunganku dengan sinergi dari seorang sahabat yang luar biasa di kelas itu (thanks to Bu Tuti ^_^). Maha Suci Allah Yang Maha Tahu cara mengajari hamba-Nya. Ya Allah, inikah caranya supaya aku mengerti? Supaya aku menyadari... Ada satu harapan yang lebih baik dibandingkan anak baik, atau suami penyayang, tetangga yang ramah, uang yang banyak....atau seribu satu harapan lain yang berdesakan dalam kalbuku setiap hari.

Kusadari sekarang, hanya ada satu harapan atau keinginan yang tidak membuatku stress, yang membuatku bisa merasa damai dengan dengan diriku sendiri. Itulah tujuan hidup yang hakiki, bahagia di dunia dan akhirat surga. Seperti yang Allah ajarkan pada manusia utk memohonkan ini pada-Nya (Al Baqarah: 201). Ya Allah berikanlah aku kebahagiaan di dunia dan akhirat surga dan jauhkanlah aku dari api neraka. Ya, aku bisa bahagia. Kalau ada yang bilang tidak mungkin, tentunya cukup janji Allah saja yang kuandalkan, bukan perkataan manusia. Karena Dialah sahabat sejatiku. Sahabat sejati tak pernah berbohong atau bermaksud aniaya pada sahabatnya.

Lalu apakah tujuan Dunia Bahagia Akhirat Surga ini tujuan yang nyata indikatornya? Yess, itulah berdamai dengan diri sendiri. Rasa nyaman, tentram, tidak waswas dan tidak bersedih hati. Beberapa kali ini kurasakan ketika aku ”melayani” anak-anak instead of melayani egoku. Subhanallah...benar Maha Suci ketetapan-Mu.

Kembali kuberpikir, apakah Dunia Bahagia Akhirat Surga ini bisa aku raih?? Itu juga yang Allah janjikan (Al Baqarah: 38) jika aku taat pada petunjuk-Nya dari detik ke detik. Dan senada dengan ribuan ayat dalam Qur’an lainnya...cara meraih kebaikan di dunia, alam kubur nikmat, akhirat surga...adalah taat pada Allah.

Harapan sudah terpasang, tujuan sudah ditegakkan.... Sekarang, saat ini....apapun kulakukan untuk bisa mencapainya dengan semua sarana yang Allah titipkan padaku. Perkenankanlah Ya Allah....